Tulisan Bagus
Makmur Keliat
Tahun 1945—63 tahun lalu—penduduk negeri ini diperkirakan 70 juta jiwa. Kini, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 210 juta jiwa.
Pertambahannya mencapai tiga kali lipat. Hampir bisa dipastikan pertambahan jumlah ini juga diiringi pertambahan warga yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Tidak hanya yang menyelesaikan S-1, tetapi juga yang menyelesaikan S-2 dan S-3. Namun, pertambahan penduduk terdidik itu tampaknya tidak membuat negeri ini memiliki pemimpin yang lebih berani dan tegas dibandingkan pendahulunya.
Dokumen dan monumen
Enam puluh tiga tahun lalu, kepemimpinan nasional negeri ini memiliki karakter dan watak patriotik yang amat kuat. Karakter itu tampak dari keberanian mengambil tindakan dan membuat keputusan. Diawali pernyataan ”kami bangsa Indonesia”, Soekarno dan Hatta, dalam kalimat awal proklamasi telah membebaskan rakyat negeri ini dari cengkraman kolonialisme.
Pernyataan ”kami bangsa Indonesia” dalam kalimat awal proklamasi itu tidak sekadar dokumen, tetapi juga sebuah monumen. Ia tidak sekadar pernyataan hukum untuk membuat negeri ini memiliki konstitusi, tetapi juga suatu simbol identitas.
Identitas itu adalah kelahiran negara dan bangsa ini yang sejak awal tidak mensyaratkan adanya keharusan untuk berunding dengan negara lain. Secara historis, kemerdekaan negeri ini juga tidak mensyaratkan keharusan untuk mendapatkan persetujuan pihak lain. Apakah pihak luar setuju atau tidak bukan merupakan pertimbangan penting saat itu. Namun, mengapa watak dan karakter keberanian yang melekat dalam pernyataan ”kami bangsa Indonesia” itu kini tampak lenyap seperti disapu angin?
Beberapa contoh ini bisa mengilustrasikan hilangnya semangat keberanian itu.
Satu dasawarsa lalu saat kita mengalami krisis finansial, secara faktual otoritas fiskal negeri ditentukan oleh berbagai instruksi kebijakan yang diarahkan Dana Moneter Internasional. Begitu pula pengelolaan sumber daya alam, baik energi maupun barang tambang. Hingga kini tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk melakukan perubahan substansial atas kontrak-kontrak dengan pihak luar guna mengatasi krisis energi yang kita hadapi.
Sejauh yang dapat dicatat, pemecahan krisis energi hanya dipahami dari keterkaitannya dengan beban anggaran di APBN. Kebijakan ekonomi lalu terpusat pada upaya bagaimana mengamankan kantong keuangan pemerintah, bukan mengamankan kantong pendapatan rakyat.
Contoh lain, larinya uang hasil korupsi. Sejauh ini, tidak ada tekanan politik apa pun terhadap negeri tetangga yang menjadi tempat penyimpanan pelarian uang itu. Contoh terbaru lainnya adalah ketidakmampuan pemerintah untuk bersikap terhadap pelarangan penerbangan pesawat nasional Garuda ke Eropa.
Mungkin terdengar sarkastik jika dinyatakan, 63 tahun setelah pernyataan kemerdekaan, sebagian besar pemimpin dan elite politik negeri ini telah menyimpang, tidak peduli, atau telah mengkhianati roh pernyataan ”kami bangsa Indonesia” itu.
Namun siapakah yang berani membantah pernyataan, kemerdekaan Indonesia sebenarnya didorong pengalaman pahit dan getir yang dirasakan anak negeri ini selama ratusan tahun? Bukankah masa kolonial telah menyampaikan pesan amat jelas?
Eksploitasi ekonomi telah terjadi pada masa kolonial karena kebijakan ekonomi tidak dibuat secara otonom di negeri sendiri tetapi nun jauh di negeri lain. Kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 sebenarnya untuk memutus intervensi pihak luar dalam mengelola ekonomi negeri. Memutus intervensi bukan berarti memutus hubungan.
Nomokrasi dan telokrasi
Karena itu, tidak berlebihan jika dinyatakan, semangat patriotik ”kami bangsa Indonesia” dalam proklamasi kini menjadi tanda tanya besar. Salah satu penyebab adalah karena pemimpin negeri ini tidak utuh memahami mengapa kita bernegara dan berbangsa. Pemimpin negeri ini cenderung memahami kebutuhan bernegara dan berbangsa hanya pada aspek adanya seperangkat aturan hukum (nomocracy) dan mengabaikan pentingnya pencapaian hak-hak sosial dan kesejahteraan rakyatnya (telocracy).
Nomokrasi bukan tidak penting. Namun, dalam konteks kebijakan ekonomi nasional, pemahaman seperti ini telah mengakibatkan pengurangan peran negara dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, pemihakan terhadap kepentingan badan usaha swasta skala besar, mencabut ”roh” keadilan yang melekat dalam pembentukan negara sekaligus menyatakan subsidi sebagai suatu kata yang ”jahat” dalam pengelolaan ekonomi nasional.
Kentalnya semangat nomokrasi dan memudarnya semangat telokrasi menguat saat demokrasi yang kita jalankan dalam satu dasawarsa terakhir hanya dipahami sebatas makna prosedural. Karena itu, demokrasi lalu dianggap hadir jika kita memiliki aturan hukum yang melembagakan pemilihan umum yang ajek, memiliki sistem politik dengan banyak partai, dan adanya kebebasan mengemukakan pendapat.
Di luar hal-hal prosedural itu, demokrasi sulit diharapkan untuk memperbaiki nasib puluhan juta rakyat tertinggal. Sejauh ini, ia hanya menghasilkan pergandengan tangan antara kartel politik (melalui partai politik) dan kartel ekonomi (kelompok usahawan besar).
Sebagaimana halnya kartel di mana pun, secara numerik jumlah yang terlibat amat sedikit dan meninggalkan puluhan juta warga di belakangnya. Jika enam puluh tiga lalu ada kebanggaan amat besar dengan pernyataan ”kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”, kini masihkah para pemimpin negeri ini berani mengangkat kepala dengan bunyi pernyataan itu?
Makmur Keliat Pengajar FISIP Universitas Indonesia
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home