Martti Ahtisaari-NobelPrice for peace winner 2008
Oleh Hamid Awaludin
Jumat, 10 Oktober 2008, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang menjadi mediator damai di sejumlah belahan dunia, termasuk Aceh, dinyatakan sebagai penerima Nobel Perdamaian.
Nobel Perdamaian, sebuah penghargaan dunia yang menjadi dambaan banyak orang. Sepekan sebelumnya, di Paris, saat saya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri penganugerahan perdamaian baginya oleh UNESCO, bersama istrinya, Ahtisaari memeluk erat saya sambil berbisik, ”Bagian dari pekerjaan saya adalah Aceh dan Indonesia.” Ia benar, sebab panitia Nobel mempertimbangkan dirinya, antara lain, karena menyelesaikan konflik Aceh yang berlangsung selama tiga dekade.
Kali awal saya mengenal dan melihatnya, di tengah puncak musim dingin di Helsinki, 27 Januari 2005, perundingan damai Aceh mulai digulirkan. Sejak itu kami berteman, Indonesia berteman dengannya. Maka Wakil Presiden Jusuf Kalla pun harus mengorbankan silaturahim setelah Lebaran, hanya untuk terbang ke Paris, menghadiri pemberian penghargaan UNESCO bagi Ahtisaari. ”Saya harus hadir di sana untuk membuktikan arti sebuah pertemanan,” kata Kalla.
Pencipta damai
Jejak rekam karya Ahtisaari di bidang perdamaian tak perlu diragukan lagi. Ia berkelana berbilang tahun di Afrika untuk penyelesaian sengketa di Namibia. Kiprahnya di lembaga PBB di bidang perdamaian juga sulit tertandingi. Lepas mendamaikan Aceh, Ahtisaari ke Balkan, menyelesaikan soal Kosovo. Maka, dunia harus mengagumi dan menghargainya sebagai sosok pencipta damai.
Soal komitmen terhadap perdamaian, mungkin banyak yang menyamai Ahtisaari. Soal keinginan menyelesaikan konflik, juga mungkin banyak yang setara dengannya. Namun, dalam menyelesaikan konflik di mana ia terlibat langsung, dari perencanaan sampai soal teknis implementasi, sulit ada yang menyamai pria bertubuh besar tinggi ini.
Kelebihan yang menonjol atas sosok mantan diplomat Finlandia ini ialah kekayaannya dalam metode penyelesaian dan perundingan. Tujuh bulan saya bersama dia dalam meja perundingan di Helsinki untuk merambah jalan damai Aceh, berarti tujuh bulan saya mempelajari taktik dan strategi mencari jalan tengah. Ia amat piawai menjembatani dua jurang yang menganga lebar.
Dalam konteks ini, Ahtisaari tempo-tempo tidak memberi komentar apa pun di meja perundingan, kecuali menjadi moderator, kadang ia tiba-tiba menjadi dominan, mengungguli kedua pihak yang sedang berunding. Malah, ia kerap meninggalkan meja perundingan, dan membiarkan saya bersama delegasi Pemerintah Indonesia bicara langsung dan berdebat sengit dengan tokoh GAM.
Dalam banyak hal, saat perundingan buntu di meja, ia menutup pertemuan dan meminta kami istirahat. Tidak memaksakan keinginan untuk meneruskan perundingan. Di tengah istirahat itu ia datang kepada saya, meyakinkan keinginan Ketua juru runding GAM, Malik Machmud dan Zaini Abdullah. Hal yang sama juga dilakukan kepada pemimpin GAM itu, menyampaikan keinginan saya. Setelah itu, Ahtisaari meminta saya, Malik Machmud, dan Zaini Abdullah untuk berjalan di tepian kali, berbicara dari hati ke hati. Ia selalu meminta kami berbicara hal-hal, yang kalau perlu, tidak terkait perundingan yang macet sebelumnya. Ternyata, metode ini amat efektif dalam mencairkan suasana. Kebekuan cair seketika. Terus terang saya akui, 80 persen penyelesaian damai Aceh, diselesaikan dengan metode ini, berjalan di tepian kali, dibanding di meja perundingan.
Ahtisaari menempuh metode ini, sebagaimana pengakuannya di kemudian hari kepada saya, mengingat ia memerhatikan saya selama ini, amat santun memperlakukan orang yang lebih tua daripada saya. ”Anda pasti sukses meluluhkan hati Malik Machmud dan Zaini Abdullah dengan cara komunikasi personal seperti itu sebab Anda mampu menyentuh hati orang yang lebih tua daripada diri Anda,” kata Ahtisaari.
Bila perundingan mengalami kemacetan karena soal semantik atau retorika, Ahtisaari mengubah taktik saat itu juga. Ia menghentikan pembicaraan dan meminta kedua pihak untuk saling menukar ide dan usul lewat kertas kerja. Biasanya keinginan orang lain bisa dipahami jika dibaca dalam konteks, daripada dipahami dalam pendengaran, kata Ahtisaari kepada saya dan Malik Machmud pada suatu saat.
Memaparkan tawaran
Taktik lain yang kerap diterapkan Ahtisaari manakala perundingan mengalami hambatan, yaitu meminta pihak-pihak untuk memaparkan tawaran yang paling disenangi lawan runding, dan bisa mulai diimplementasikan sesegara mungkin. Bagi Ahtisaari, segala yang menyenangkan itu pasti membuat lawan ingin bersahabat. Karena itu, selama tujuh bulan perundingan, saya tak terbilang berapa kali memaparkan tawaran amnesti pemerintah kepada GAM. Masalahnya, ini adalah sesuatu yang konkret dan menyenangkan pihak GAM.
Kendati Ahtisaari kaya dalam metode dan taktik, ia amat taat asas pada prinsip kesepakatan. Ia tidak akan membiarkan siapa pun di meja perundingan, yang berbicara di luar agenda yang disepakati sebelumnya. Ia amat tegas dan keras dalam soal ini. Ia pernah membanting pensil di atas meja perundingan sembari mempersilakan tim perunding GAM meninggalkan meja perundingan dan tak pernah kembali lagi, hanya karena salah satu perunding GAM selalu berbicara tentang sesuatu yang tidak ada dalam agenda pembicaraan.
Ketegasan itulah yang membuat dia selalu sukses sebab ia membingkai para pihak. Dengan ketegasan itulah yang bisa mengukur tempo dan substansi perundingan. Bagi Ahtiaari, perundingan damai adalah perundingan yang harus punya bingkai dalam konteks waktu dan substansi. Tanpa itu, bukan perundingan namanya, tetapi obrolan yang tak menghasilkan apa-apa.
Hingga kini mungkin belum banyak yang tahu bahwa keterlibatan Ahtisaari untuk memediasi perundingan damai Aceh terjadi tanpa mandat tertulis dari pemerintah. Semua dilakukan dengan permintaan lisan dari Wakil Presiden M Jusuf Kalla lewat telepon. Segala proses pencapaian perdamaian di Aceh juga lebih banyak dilakukan lewat percakapan telepon antara dirinya dan Jusuf Kalla.
”Kita berunding di sini untuk mencari solusi secara bermartabat,” kata Ahtisaari dalam pembicaraan awal perundingan damai Aceh di Helsinki. Ya, ia sukses menebarkan damai di berbagai belahan dunia. Karena itu, ia berhak menerima Nobel sebagai simbol martabat manusia.
Selamat buat Ahtisaari, teman saya, teman Indonesia.
Hamid Awaludin Dubes RI di Rusia; Wakil Indonesia dalam Perundingan Damai Aceh di Helsinki
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home