daunlontarku

Monday, June 14, 2010

Bisnis Game online dan Degenerasi Mental Anak-Anak

Bisnis game online yang dewasa ini kian menjamur menimbulkan suatu keprihatinan. Saat tulisan ini dibuat, saya tengah berada di antara puluhan anak usia sekolah yang sedang asik bermain game on-line di sebuah warung penyedia layanan internet.

Berbicara mengenai aspek ekonomi, seorang pemilik usaha ini tentunya akan mengharapkan keuntungan. Oleh karena itu, kedatangan sebanyak-banyaknya pengunjung akan sangat diharapkan. Dengan demikian, kedatangan puluhan anak-anak yang haus akan game on-line akan sangat dinantikan. Datangnya puluhan anak dalam jam pelajaran sekolah tentu akan berakibat pada semakin menurunkan persentase kehadiran anak usia sekolah di sekolah.

Di sini lain, seorang penyedia jasa internet dalam hal ini tidak bisa serta merta disalahkan karena apa yang dia lakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang dilaksanakan dengan prinsip kewirausahaan. Dewasa ini, kewirausahaan sangat sedang digalakkan oleh pemerintah dan tak pernah ada pelarangan untuk menyediakan pelayanan jasa internet. Secara konstitusional penyedia jasa internet tidak salah.

Berbicara mengenai aspek pendidikan, siapa yang patut disalahkan dengan kebosanan siswa terhadap pelajaran sekolah? Apakah guru? ataukah ada permasalahan yang "lebih sistemik" yang terjadi di dalam dunia pendidikan atau dunia yang lebih besar lagi hingga menyebabkan anak usia sekolah tidak lebih tertarik memahami ilmu pengetahuan "klasik" ketimbang mengeksplorasi keingintahuan anak didik yang lebih besar terhadap aktivitas penuh petualangan di dalam dunia maya. Adakah keterkaitan antara realitas produksi proses pendidikan Indonesia terhadap motivasi anak didik untuk melanjutkan eksplorasi keingintahuannya dalam ilmu pengetahuan klasik yang dipelajari di bangku sekolah.

Saya ingin mengambil sebuah contoh, seorang anak usia sekolah dasar apabila ditanya rata-rata punya cita-cita kelak bila ia besar nanti, namun setelah SMP anak akan bingung ingin menjadi apa dan setelah SMA gelagapan masuk sekolah apa saja yang memungkinkan dengan kemampuan yang ia miliki pada saat ini. Sungguh memprihatinkan! Ketika generasi muda penerus bangsa tak tahu apa yang dapat mereka kontribusikan pada perikehidupan selama ia hidup di dunia ini. Sungguh memprihatinkan ketika anak nongkrong berujar... "Ah... jalani aja, seperti air".. sambil berujar dengan tatapan kosong tanpa harapan.

Tak bisa pula disalahkan, generasi muda mendapatkan didikan dari generasi yang lebih tua. Apakah ada harapan yang lebih besar yang pernah diberikan dari generasi tua ke generasi muda? Apakah pernah diberikan langan kerja yang seluas-luasnya bagi para generasi muda sehingga kaum muda berani bermimpi tinggi tentang masa depannya.

Bahkan bermimpi saja, kami kaum muda ini sulit....
(baru hanya bermimpi)

Kembali kepada bisnis game online, penulis bertanya kepada pemilik penyedia jasa game on-line ini tentang penghasilan yang bisa didapatkan setiap harinya. Beliau berkata setiap hari bila sedang ramai sang pemilik dapat mendapatkan lima ratus ribu rupiah sehari. Dengan perhitungan kasar akan didapat uang sekitar lima belas juta rupiah setiap bulan. Penulis memperkirakan biaya operasional per bulan adalah 3 juta rupiah (listrik, dan gaji petugas). Dengan demikian, akan didapat penghasilan bersih sebesar 12 juta rupiah per bulan. Dalam kondisi yang terus-terusan ramai dalam setahun akan didapatkan uang Rp. 144 juta. Bila dikurangi dengan modal awal penyediaan warnet yaitu : 5 juta per unit komputer (ada 30 unit) dan 10 juta rupiah sewa setahun akan diperoleh kebutuhan dana sebesar 160 juta rupiah pada tahun pertama. Dengan perhitungan kasar, usaha ini akan mencapai break even point dalam jangka waktu sekitar 3 tahun (Dengan pertimabngan bisnis selalu ramai). Apabila bisnis mengalami kelesuan, makan BEP bisa molor hingga dalam jangka waktu 5 tahun. Lalu apa yang terjadi?

Secara ekonomi bisnis ini tidaklah akan bisa memeberikan keuntungan besar bagi pengusaha. Menurut analisis saya, bisnis game-online ini tidak akan bisa bertahan lebih dari 3 tahun karena dalam jangka tiga tahun mesin komputer akan mengalami degenerasi hingga kualitasnya tidak akan sebaik tahun pertama dan kedua. Hal ini akan menyebabkan pelanggan (yang rata-rata pelajar) akan mulai beralik ke penyedia internet yang lain pada tahun ke-3. Akibatnya kebanyakan usaha akan mengalami kebangkrutan di tengah jalan.

Jadi secara ekonomi, menurut saya kewirausahaan game online sangat tidak ekonomis!

Lalu apa yang terjadi dengan pelajar yang telah menjadi korban pasar yang semena-mena tadi? Anda mungkin bisa membayangkan berapa jumlah anak yang telah mengalami ketertinggalan materi pelajaran di sekolah selama mengeksplorasi dirinya di dunia maya. Ketertinggalan ini akan sangat mungkin menimbulkan keputusasaan siswa akan persaingan di dalam dunia pendidikan klasik di Indonesia yang sangat keras (over-kompetisi). Akibatnya anak akan semakin jauh dari dunia pendidikan yang setidaknya memberikannya peluang untuk dapat diterima dalam bursa tenaga kerja.

Apa yang kemudian akan terjadi? Anak-anak akan mulai mencari pembenaran. " Ah.. buat apa susah-susah sekolah.. sarjana pun banyak yang ngaggur." Padahal logika seharusnya adalah, " Sarjana saja banyak yang ngaggur apalagi tidak sarjana."

Lantas apakah benar tujuan pendidikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar (baca: diterima bekerja). Oh, tentu saja seharusnya tidak pakar pendidikan oleh bilang tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah untuk memanusiakan manusia, tapi dalam kondisi pasar yang semena-mena ini manusia butuh pekerjaan untuk bisa hidup menjadi manusia!

Pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk menyediakan sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan sehingga anak-anak punya harapan untuk membuat mimpinya menjadi kenyataan. Pemerintah seharusnya tidak hanya lepas tangan dan dengan semena-mena memaksa rakyat harus mandiri dengan berwira usaha tanpa pernah serius memberikan dukungan bagi usaha kecil. Pemerintah harusnya tidak lepas tangan membiarkan rakyatnya berwira usaha serabutan dan kemudia dengan semena-mena melakukan pemberantasan terhadap bisnis yang mereka lakukan dengan alasan merusak kerapihan tata kota.

Anak-anak harusnya berani bermimpi, anak anak harusnya berani untuk mewujudkan mimpinya. Generasi tua harusnya memberikan peluang pada anak-anak untuk bermimpi dan mewujudkan mimpinya!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home