daunlontarku

Wednesday, June 16, 2010

Tionghoa : Bagian yang tak Terlepaskan dari Bangsa Indonesia

Sentimen negatif mengenai keberadaan etnis Tionghoa sangat kental terasa sejak saya bersekolah di sekolah dasar. Sewaktu kecil seringkali saya merasa kesal ketika dipanggil Amoy, karena penampilan fisik saya sangatlah mirip dengan etnis Tionghoa. Kejengahan yang saya rasakan sangatlah erat dengan sentimen negatif tentang kaum Tionghoa di masyarakat. Pada saat itu sangat besar keingintahuan saya mengapa bentuk fisik saya sangat mirip etnis Tionghoa dan mengapa etnis Tionghoa terkesan sangat dibenci di tengah-tengah masyarakat Indonesia (terutama pada saat itu).

Sungguh memprihatinkan pada tahun 1992, Susi Susanti yang berhasil mengibarkan bendera Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya dalam pertarungan bergengsi dunia pada saat itu kepengurusan mengenai kewarganegaraannya pun belum selesai. Bahkan beliau baru mendapatkan status kewarganegaraannya selang beberapa tahun setelah Olimpiade Barcelona itu berlangsung.

Istilah pribumi dan non-pribumi sangat kental berkumandang pada kisaran tahun 1998 ketika proses pergantian rezim orde baru tengah berlangsung. Sebagai akibatnya ribuan perempuan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan dan harta kaum etnis Tionghoa habis dijarah massa. Proses penyelesaian kasus mengenai permasalahan ini pun hingga kini belum tuntas. Kejadian semacam ini ternyata bukan terjadi pada saat itu saja, sudah sejak jaman modus semacam ini telah dipergunakan untuk mengadu domba kedua belah pihak untuk menyelamatkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Sungguh tak adil pengklasifikasian pribumi dan non-pribumi tersebut bila masih bertengger di kepala kita. Di bumi yang universal ini harusnya manusia dihargai sebagai entitas kemanusiaannya, bukan etnis, bukan agama, bukan ras, dan bukan dasar pengklasifikasian anatomis, fisiologis, atau geografis, atau apapun jenis pengklasifikasian yang lain yang memungkinkan terjadinya pencemoohan manusia atas manusia yang lain buat atas aktivitas manusia itu sendiri dalam peri-kemanusiannya.

Hasil studi dan penelitian di bidang antropologi menyebutkan bahwa ras Indonesia terdiri dari empat bagian :

1. Negrito : Keturunannya antara lain adalah suku Tapiro di Irian Jaya

2. Wedda: Keturunannya antara lain adalah suku Toala di Sulawesi Barat Daya dan Suku Kubu di Jambi dan Sumatera Selatan

3. Melayu Tua : Keturunannya antara lain suku Batak di Sumatera Selatan, Suku Ranau di perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung, Suku Dayak di Kalimantan, Suku Toraja di Sulawesi Selatan

4. Melayu Muda : Keturunannya antara lain suku Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ternate dan suku-suku yang berbahasa Minangkabau

Golongan 1 dan 2 yang berkulit lebih gelap termasuk ras Negroid sedangkan golongan 3 dan 4 yang berkulit lebih coklat/kuning termasuk ras Mongoloid. Menurut penelitian para ahli, kelompok Mongoloid kebanyakan berasal dari sekitar Yunnan-Tiongkok Selatan. Pendapat ini didukung oleh beberapa ahli yaitu: R.S Sasongko, Bernard H.M. Vlekke, dan Thomas Stanford Raffles.

Golongan Melayu Tua ketika datang di bumi Nusantara ini sekitar 1500 tahun sebelum Masehi memilih tempat tinggal yang dataran pegunungan tinggi. Konon kabarnya, hal ini sangat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pada saat itu yang mengangap puji-pujian terhadap penguasa dunia akan lebih cepat sampai dari tempat yang lebih tinggi. Beberapa suku yang tidak terlalu banyak mengalami perkawinan campur karena (terutama) latar belakang geografis akan memperlihatkan bentuk fisiologis yang cukup mirip dengan etnis awalnya. Sebagai contoh adalah kemiripan tradisi antara suku Batak di Pulau Samosir, Suku Ranau di perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung, serta Suku Toraja dan Dayak di Sulawesi dan Kalimantan. Berbagai kemiripan juga terlihat dari aksara dan aktivitas kebudayaan suku-suku tersebut. Bahkan tradisi suku Toraja sangat mirip dengan tradisi masyarakat Yunnan Selatan.

Golongan Melayu Muda datang ke bumi Nusantara sekitar 200 tahun sebelum Masehi. Berbeda dengan Golongan Melayu Tua, golongan Melayu Muda lebih memilih untuk berdomisili di sekitar pesisir. Perkawinan campur dengan pedangang India, Arab, dan suku-suku lain sangat lebih dimungkinkan. Karena itulah bentuk fisik dari suku Melayu Muda ini lebih bervariasi.

Kehadiran kaum Tionghoa yang dari dataran Cina yang lebih kini berlangsung dalam masa hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara. Ada pula yang datang ke bumi Nusantara karena alasan pergolakan politik di datarang Cina. Sewaktu berlangsungnya imperialisme Belanda puluhan ribu kaum Tionghoa didatangkan oleh penguasa belanda untuk bekerja di pertambangan Timah yang dibuka di Bangka dan Billiton (baca: Belitung).

Beberapa hasil penelitian para ahli ini, kemudian masalah pribumi dan non-pribumi sangatlah tidak relevan. Parameter apa yang bisa kita pergunakan untuk menentukan kemurnian kadar pribumi seseorang. Dr. Josef Glinka SVD, dalam seminar Man: Past, Present, and Future, yang diselenggarakan di kampus UGM menegaskan bahwa mereka yang masih mempermasalahkan istilah pribumi dan non-pribumi hanya orang-orang bodoh. Ia juga menegaskan bahwa secara antropologis sebenarnya seluruh penduduk Indonesia sejarang ini merupakan non-pribumi, dalam arti bukan asli dari Indonesia. Jadi soal pribumi atau tidak, sekadar perhitungan waktu, kapan mereka atau leluhurnya dulu mulai berdatangan menghuni kepulauan Nusantara.

Sumber utama :

1. Tionghoa dalam Pusaran Politik : Benny G. Setiono

2. Hoakiau di Indonesia : Pramoedya Ananta Toer

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home