daunlontarku

Tuesday, June 22, 2010

Politik Uang dan Ironi Birokrasi Indonesia


Bulan Juni 2010 ini adalah masa yang cukup ramai dengan penyelenggaraan berbagai pesta demmokrasi di daerah-daerah yang terwujud dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan adalah beberapa diantara propinsi yang melaksanakan pesta demokrasi tersebut di bulan Juni ini. Berbagai aktivitas khas pesta demokrasi pun tak ayal lagi menjadi fenomena yang tersuguh riuh di tengah berbagai aktivitas rutin masyarakat.

Kampanye adalah salah satu media yang harusnya dipergunakan untuk menyampaikan pandangan, ide, dan tujuan politik sang calon pemimpin di dalam arena pertarungan pemilihan kepala daerah tersebut. Kampanye harusnya adalah suatu sarana edukasi politik bagi warga negara untuk lebih menyadari hak dan kewajiban politiknya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Dalam kampanye ini, seorang calon pemimpin harus dapat mempergunakan kesempatan ini sebesar-besarnya untuk mencerdaskan masyarakat.

Bangsa Indonesia memang punya sejarah yang cukup panjang dengan penindasan haknya sebagai manusia. Selama beberapa abad bangsa ini telah menjadi korban penindasan imperialisme kuno oleh bangsa-bangsa Eropa. Bangsa ini pun tak dapat menghindari dirinya dari penindasan oleh bangsanya sendiri melalui konspirasi pembesar-pembesar masyarakat dengan imperialis untuk mendapatkan upeti sebanyak-banyaknya demi kepentingan imperialis besar dan keuntungan pribadi sang pembesar. Keberadaan pembesar-pembesar yang suka mengambil keuntungan di tengah keruhnya situasi ini sering pula dimanfaatkan oleh imperialis untuk menyinambungkan tujuan penghisapan sebesar-besarnya di daerah yang dikuasainya. Akibatnya adalah mengalirnya pundi-pundi emas ke negara penguasa dan mengalir pula pundi-pundi tersebut ke kantong pribadi pembesar. Tak heran bila pada kondisi dimana masyarakat yang begitu sulit pada saat-saat itu, para pembesar tetap menikmati berbagai kenikmatan.

Indonesia telah diproklamirkan merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah hampir 65 tahun usianya merdeka. Entah mengapa tak banyak kemajuan peradaban yang terjadi. Alih-alih menjadi bangsa yang mandiri dan berpartisipasi aktif dalam kemajuan peradaban dunia, bangsa ini masih tetap saja menjadi objek penindasan kaum pemilik modal. Pemerintahan yang telah berdiri dan senantiasa dikumandangkan sedang melakukan proses pembelajaran demokrasi tampaknya sangat sulit mengambil pemahaman dari proses pembelajaran yang senantiasa dilakukan, terbukti dengan tak banyak hasil pembangunan peradaban yang dapat dilihat. Pembangunan yang terlihat lebih banyak dalam hal pembangunan sarana pemasaran produk, sedangkan produksi produk sangatlah tidak diperhatikan. Akibatnya, fasilitas pemasaran tersebut lebih banyak menjadi tempat pemasaran hasil produksi impor. Selain itu, pemerintah dan segenap aparaturnya tampak belum memahami makna sesungguhnya dari kemerdekaan itu. Pengaruh imperialisme tampak masih sangat mendarah daging di sanubari para pembesar tersebut.

Pemilukada yang seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi rakyat tampaknya belum dapat memiliki esensinya. Pemahaman dalam berpartisipasi aktif dalam kemajuan peradaban bangsa ini tampaknya masih belum dipahami sepenuhnya oleh kandidat-kandidat pemimpin daerah. Terbukti dengan berseliwerannya lembaran-lembaran dua puluh ribuan dalam proses kampanye untuk peserta-peserta kampanye.

Masyarakat memang tidak bodoh, karena kesulitan perekonomian yang begitu sulit mereka kebanyakan menerima saja seliweran uang panas yang beredar di pasaran kampanye itu. Buat mereka, soal uang diterima dulu sendangkan permasalahan pilihan bisa dipikirkan nanti.

Tak cukup banyak pilihan yang bisa diharapkan dewasa ini untuk dapat memberikan perubahan besar bagi situasi ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Karena itulah masyarakat cenderung memilih yang paling populer dan memilih mana yang kira-kira akan mampu memenangkan pertarungan. Agar euforia kemenangan setidaknya dapat mereka nikmati.

Praktek penyampaian visi dengan menggunakan uang ini kerap dikenal dengan praktek politik uang. Praktek politik uang adalah sungguh merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan mengingat dalam kondisi yang sangat sedang mementingkan pasar ini, prinsip ekonomi akan menjadi suatu pertimbangan penting dalam bertindak. Investasi politik dalam memenangkan pertarungan dikhawatirkan menuntut pembalikan modal dan pencarian nilai lebih ketika pertarungan telah dimenangkan dan eksplorasi pasar dapat dengan lebih mudah dilancarkan.

Memajukan peradaban memang memerlukan partisipasi oleh seluruh komponen bangsa, namun untuk mempercepat prosesnya sangat diperlukan keberadaan pionir-pionir pembangun. Pionir-pionir pembangun ini haruslah memiliki kekuasaan yang cukup besar untuk mengimplementasikan idenya dalam memajukan peradaban, dalam hal ini pemimpim pemimpin pemerintahan.

Bila kita memperhatikan kondisi birokrasi secara nyata di lapangan, sungguh memprihatinkan sejak level terendah dari perangkat pemerintahan praktek-praktek politik uang masih sangat familiar di masyarakat. Pengurusan KTP, Surat pengantar untuk pernikahan, Pengurusan Kartu Keluarga yang harus dimulai dari level perangkat pemerintahan terendah suka-tidak suka kerap menjadi korban politik uang. Seorang petugas kantor kelurahan dapat secara terang-terangan berinvestasi Rp. 10.000,- untuk meminta tanda tangan kepada lurah setempat untuk kemudian secara terang-terangan meminta biaya administrasi sebesar Rp. 25.000,- kepada pemohon surat keterangan dari pihak kelurahan.

Kondisi ini sungguh menyayat hati, ternyata kondisi birokrasi bangsa kita tidak berbeda jauh dari masa tiga abad yang lalu. Penarikan upeti berlapis dari level penguasa yang paling rendah sungguh merupakan bukti nyata bahwa bangsa ini belum merdeka.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home