daunlontarku

Sunday, July 11, 2010

Pendidikan Sebagai Sebuah Komoditas

(Sebuah Tinjauan Mengenai Sertifikasi Sekolah-ISO 9001)


Seritifikasi ISO mungkin sudah tidak asing lagi di telinga para pelaku pasar, tak jarang para pelaku pasar harus memenuhi berbagai persaratan ISO agar produknya bernilai kelas dunia hingga dapat diekspor ke luar negeri. Ada beberapa varian sertifikasi ISO, yang cukup familiar diantaranya adalah ISO 9001 untuk manajemen kendali mutu, ISO 14001 untuk sistem pengelolaan lingkungan, ISO 18001 untuk sistem pengeloaan kesehatan dan keselamatan kerja, dll. Masing-masing varian tersebut terus menerus dikaji dan diperbaharui sehingga pada kenyataannya kita bisa melihat perbedaan seri ISO. Contohnya ISO 9001:2004 dan ISO 9001:2008. Perbedaan itu menyangkut pada penambahan dan atau pengurangan parameter yang menjadi acuan sistem kendali mutu tersebut.

Sebagai contoh akan diambil gambaran umum mengenai proses sertifikasi ISO 9001. Untuk mendapatkan label sertifikasi ISO 9001 diperlukan berbagai persyaratan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengembangan sistem. Tahap perencanaan biasanya diawali dengan pelaksanaan survei lapangan untuk melakukan analisis resiko. Proses analisis resiko ini akan menghasilkan tinjauan berupa poin-poin yang signifikan dan yang tidak signifikan. Pengendalian, pemantauan, dan pengkajian ulang dilakukan pata poin-poin yang dianggap penting setelah proses analisis resiko ini dilakukan.

Biasanya kajian pengelolaan sistem ISO 9001 ini dilakukan oleh seorang ahli manajemen mutu, dalam hal ini bisa berupa jasa konsultasi yang diberikan oleh suatu badan. Kajian dari badan konsultasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang harus diajalankan dan dipantau untuk dapat menyakinkan bahwa aktivitas produksi yang dilakukan memiliki manajemen yang baik. Rekomendasi tersebut harus dijalankan dulu dalam jangka waktu tertentu, misalnya 6 bulan, baru kemudian akan dilaksanakan audit surveilan untuk menentukan kelayakan proses serifikasi terhadap aktifitas produksi tersebut. Jika setelah audit surveilan itu ditemukan bahwa aktivitas produksi belum layak untuk mendapatkan serifikat ISO 9001, maka rekomendasi yang semula diberikan harus dilaksanakan dan dipantau lagi dalam jangka waktu tertentu lagi. Jika ditemukan bahwa aktivitas produksi tersebut layak untuk mendapatkan sertifikasi ISO 9001, maka label ISO 9001 aka diberikan dengan catatan akan dilakukan pemantauan dalam jangka waktu tertentu, biasanya 6 bulan sekali, dan bila dalam masa pemantauan tersebut ditemukan temuan besar yang menunjukkan bahwa sistem tidak lagi memiliki realibilitas tinggi pada manajemen mutunya akan dapat berakibat dicabutnya serifikasi.

Jika dipandang dari aspek ekonomi, sertifikasi menurut para pelaku pasar (yang mempercayainya) merupakan salah satu bentuk investasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai jual produk. Diharapkan setelah mendapatkan label ISO, produk akan memiliki pangsa pasar yang lebih besar disertai dengan harga jual yang lebih tinggi akibat gengsi yang juga naik karena predikat ISO tersebut. Oleh karena itu, tak ayal lagi proses sertifikasi akan cukup merogoh kocek dalam-dalam untuk berbagai upaya pemenuhan persyaratan. Mulai dari pembayaran tenaga ahli yang “berharga” mahal, pelaksanaan berbagai rekomendasi yang juga menuntut biaya tidak murah, sampai pada biaya pemantauan dan pelaksanaan audit. Proses ini menuntut biaya mandiri dari unit produksi karena sertifikasi yang dilakukan pun atas inisiatif sendiri.

Merujuk pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia, lantas pantaskah bila kita menganggap pendidikan adalah suatu produk yang layak untuk dikomersialisasikan? Adalah sesuatu yang cukup memperihatinkan bagi penulis yang pernah menjadi seorang auditor sistem manajemen mutu melihat kenyataan di depan sekolah-sekolah menjelang tahun ajaran baru ini banyak logo-logo ISO 9001 tertera di spanduk-spanduk penerimaan murid baru. Sungguh memperihatinkan ketika melihat komersialisasi pendidikan jelas-jelas dipertontonkan di depan khalayak dan khalayak pun sepertinya terbuai untuk masuk sekolah-sekolah yang berlabel ISO 9001 karena terkesan lebih bonafit.

Pemberian jaminan bahwa suatu sekolah memiliki kualitas manajemen mutu memanglah baik, namun akan menjadi tidak baik ketika sekolah mengusahakan sendiri proses penjaminan mutu ini dengan mengadaptasi sistem yang memiliki hak lisensi cukup mahal. Mengapa tidak baik? Karena menuntut biaya tinggi dalam pengupayaannya hingga sedikit banyaknya (cenderung banyak) akan mempengaruhi biaya pungutan sekolah terhadap para siswa. Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan untuk operasional sekolah sudah pasti tidak akan bisa dimanfaatkan untuk memenuhi biaya pengusahaan serifikasi ini. Lantas dari mana biaya itu akan diperoleh? Tak lain dan tak bukan salah satunya adalah dari pungutan terhadap para siswa.

Dalam rangka mencerdaskan bangsa, penjaminan mutu pendidikan memang mutlak dilakukan. Penjaminan itu seharusnya dapat dilakukan melalui Lembagan Penjaminan Mutu Nasional yang memiliki spesialisasi di bidang pendidikan. Hal itu akan lebih cocok untuk penjaminan sekolah dibandingkan dengan sertifikasi ISO yang parameter ujinya diadaptasi dari lembaga internasional yang belum tentu mengenal karakteristik Indonesia, terlebih lagi PENDIDIKAN INDONESIA. Sertifikasi ISO 9001 adalah suatu kriteria umum yang diperuntukkan untuk seluruh unit produksi, dan sungguh menjadi lucu ketika sekolah dianggap sebagai unit produksi seperti halnya perusahaan.


Kembali ke Kurikulum Nasional

Kembali ke Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Nasional

Karena pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia, bukan produk yang layak diperjualbelikan!



Lely Fitriyani

10 Juli 2010

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home